Senin, 13 April 2015

hukum puasa wanita haid dan nifas | fidyah puasa wanita haid | bolehkah wanita haid puasa

Karunia Ramadhan bagi Wanita Haid dan Nifas

Shaum Ramadhan salah satu ibadah yang tata cara pelaksanaannya sudah ditentukan Allah SWT dan diajarkan Rasulullah SAW (bersifat tauqifiyah).  Kaum muslim diperintahkan untuk melaksanakannya tanpa mengurangi dan menambahnya.  Manusia tidak boleh mencari-cari hikmah dan manfaat ataupun alasan di balik pelaksanaan ibadah tersebut, kecuali apa yang telah disebutkan di dalam nash-nash Syara.  Oleh karena itu,  kaum muslim wajib mengikuti semua bentuk perincian ibadah Shaum dengan mengacu pada al-Qur’an maupun as-Sunnah. Dan bilamana hal itu dilaksanakan dengan benar dan hanya mengharapkan ridha Allah SWT maka Shaumnya akan meningkatkan derajat ketaqwaannya.

Shaum Wanita Haid dan Nifas
Islam membedakan persoalan ibadah shalat dengan ibadah shaum bagi wanita haid dan nifas.  Dalam perkara shalat, Allah SWT telah mengangkat kewajiban tersebut dari keduanya.  Oleh karena itu, mereka tidak diperintahkan mengqadha (mengganti) shalat selepas masa haid dan nifasnya.  Namun, tidak demikian dengan Shaum.  Allah SWT tidak mengangkat taklif Shaum dari keduanya.  Allah SWT hanya mengundurkan waktu pelaksanaannya hingga selesai masa haid dan nifasnya.  Oleh karena itu, wanita haid dan nifas wajib mengqadha Shaum saat masa haid dan nifasnya telah selesai.  Mengapa terdapat perbedaan seperti itu?
Shaum maupun shalat merupakan bagian dari ibadah.  Dalam hal ibadah, Allah SWT tidak memberikan ‘illat atas bentuk pelaksanaannyaDalam persoalan ini pun, tidak ada satu pun nash yang menunjukkan atas ‘illat tentang perbedaan masalah tersebut.  Oleh karena itu, selayaknya kita tidak perlu mencari-cari sebab mengapa aturan keduanya berbeda.  Dari Muadzah ia berkata : “Bagaimana orang haid harus mengqadha Shaum sedangkan ia tidak harus mengqadha shalat?  Aisyah bertanya: Apakah engkau seorang Khawarij Haruriyah?  Aku berkata: Aku bukan seorang Haruriyah, tetapi aku sekedar bertanya.  Aisyah berkata: Kami pernah mengalami hal itu, lalu kami diperintahkan untuk mengqadha Shaum dan tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat”. (HR. Muslim, Bukhari, Abu Daud, an Nasai dan Tirmidzi)
Wanita haid dan nifas diharamkan berShaum selama darah masih mengalir di masa haid atau nifasnya.  Apabila haid atau nifas keluar meski sesaat sebelum maghrib, ia wajib membatalkan Shaumnya dan mengqadhanya pada waktu yang lain.  Apabila darahnya terhenti pada malam hari (sebelum terbit fajar), maka Shaum pada hari itu wajib atasnya dan sah, walaupun ia mandi setelah terbit fajar.  Sebab, yang menjadi penentu adalah mengalir atau tidaknya darah.  Sementara mandi adalah perkara yang lain.  Oleh karena itu, seorang wanita -jika telah terhenti darah haid atau nifasnya- maka wajib atasnya Shaum Ramadhan.  Jika hal ini terjadi pada siang hari maka ia wajib berShaum saat itu juga meski harus mengqadha di waktu yang lain.  Hal ini dikarenakan ia tidak memulai Shaumnya sejak terbit fajar.  Hal ini sebagaimana orang yang terlambat mendapatkan khabar datangnya bulan Ramadhan pada siang hari, ia wajib berShaum pada sisa waktu (hari) yang ia dapati tetapi mengqadha pada hari yang lain.
Qadha Shaum
Mengqadha Shaum sah dilakukan secara berturut-turut atau berselang-seling tanpa ada pengutamaan salah satu dari keduanya.  Mengqadha Shaum Ramadhan juga sah dilakukan secara langsung setelah hari raya Idul Fitri (mulai tanggal 2 Syawal).  Demikian pula, qadha sah dilakukan meski diakhirkan hingga bulan Sya’ban, beberapa saat sebelum datangnya Ramadhan berikutnya.  Dalil atas masalah ini adalah keumuman ayat :
“..Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berShaum) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain..” (TQS. Al Baqarah [2]: 184)
Ayat tersebut menetapkan qadha Shaum secara mutlak tanpa batasan (taqyid) dan pengkhususan (takhsis).  Hal ini menunjukkan adanya keluasan waktu mengqadhaShaum hingga sebelum datang Ramadhan berikutnya.  Dalam hal ini para fuqoha telah bersepakat. Dalil lainnya adalah dari Aisyah ra, ia berkata :
“Aku tidak mengqadha hutang Shaum Ramadhan-ku kecuali pada bulan Sya’ban hingga Rasulullah Saw dimakamkan”. (HR. Ibnu Khuzaemah, Tirmidzi, dan Ahmad)
Jika seseorang -tanpa udzur- melalaikan qadha Shaum hingga melewati Ramadhan berikutnya, maka ia dipandang sudah melalaikan kewajiban (al-mufarrith).  Namun demikian para ulama berbeda pendapat tentang apakah ia harus membayar fidyah(sebagai kafarat) atas Shaum yang ditinggalkannya ataukah tidak.
Abu Hanifah dan para shahabatnya, Ibrahim An-Nakha’i, al Hasan al Bashri, al Muzani dan Dawud bin Ali berpendapat bahwa orang tersebut hanya wajib qadha saja.  Sedangkan jumhur ulama berpendapat orang tersebut wajib mengqadha Shaum dan membayar fidyah (yaitu memberi makan orang miskin dari setiap hari Shaumnya).
Pendapat seperti ini diriwayatkan berasal dari Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan Abu Hurairah ra.  Bukhari berkata: “….Ibrahim berkata: jika seseorang melalaikan qadha hingga tiba Ramadhan berikutnya, maka ia harus berShaum mengqadhanya tanpa perlu memberi makan.  Tetapi ada riwayat dari Abu Hurairah secara mursal, dan dari Ibnu Abbas, bahwa orang tersebut harus memberi makan.”
Pendapat yang lebih kuat adalah yang disampaikan oleh ulama Hanafiyah.  Hal ini dikarenakan kewajiban membayar fidyah bagi orang yang melalaikan kewajiban qadhamemerlukan nash Syara.  Sementara tidak ada satu pun nash Syara yang datang dalam masalah ini.  Sehingga pensyariatan hukum seperti itu tidak sah.  Memang ada pernyataan yang dinukil at Thahawi dari Yahya bin Aktsam: Aku menemukan pendapat tentang fidyah ini dari enam orang shahabat dan aku tidak mengetahui orang yang menyalahi mereka dalam masalah ini. Ternyata semua riwayat yang berasal dari sahabat ini tidak terbukti kuat, karena diriwayatkan melalui jalur-jalur yang dhaif sehingga harus ditolak dan tidak boleh diikuti.
Sejumlah ahli fiqh juga telah keliru tentang pernyataan shahabat: “Sesungguhnya orang yang sakit jika tidak berShaum Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya, maka hendaknya ia berShaum Ramadhan dan memberi makan pengganti Ramadhan yang luput kepada seorang miskin dari setiap harinya”. Pernyataan tersebut tertukar dengan riwayat-riwayat dhaif di atas sehingga mereka mewajibkan fidyah secara mutlak.  Padahal yang benar, bagi orang yang sakit sedangkan ia tidak mampu mengqadha sepanjang tahun maka ia diwajibkan membayar fidyah saja (sebagaimana yang dinyatakan di dalam Al Quran).

Adapun bagi orang yang lalai mengqadha Shaum hingga beberapa Ramadhan maka kewajiban qadhanya tetap berlaku.  Ia tidak cukup hanya mengqadha Ramadhan yang terakhir saja.  Ini dikarenakan qadha Shaum Ramadhan tidak gugur dengan lewatnya waktu lebih dari satu tahun.  Dengan melalaikannya (mengakhirkannya) maka ia telah berdosa, dan ia tetap terkena beban untuk mengqadha seluruh Shaum yang pernah ditinggalkannya.

Hukum Qadha Puasa | arti qodho puasa | Dalil wajibnya qadha | qodho puasa ramadhan

Hukum Qadha Puasa Bagi Orang Yang Membatalkan Puasa

Tanya :
Ustadz, jika orang membatalkan puasa secara sengaja tanpa udzur syar’i, apakah ada kewajiban qadha atas orang itu? Bagaimana dengan hadits yang menyebutkan “lam yaqdhi shiyamud dahri wa in shaamahu” (dia tak akan dapat meng-qadha`nya dengan puasa satu tahun, meskipun dia melakukan puasa satu tahun)?

Jawab :
Para ulama berbeda pendapat mengenai orang yang dengan sengaja tak berpuasa atau berpuasa tapi membatalkannya tanpa udzur syar’i, misalnya sakit atau dalam perjalanan. Ada dua pendapat sbb;Pertama, pendapat jumhur ulama yang mengatakan orang tersebut wajib mengqadha`. Dalam kitabRahmatul Ummah fi Ikhtilafil A`immah disebutkan,”Mereka [Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad] sepakat bahwa orang yang sengaja makan atau minum pada siang hari pada bulan Ramadhan sedang dia dalam keadaan sehat dan mukim (tak dalam perjalanan), maka dia wajib mengqadha`… (M. Abdurrahman Ad Dimasyqi, Rahmatul Ummah fi Ikhtilafil A`immah, hlm. 93).
Dalil wajibnya qadha` adalah hadits dari Abu Hurairah RA yang diriwayatkan Imam Dawud mengenai seorang laki-laki yang menggauli istrinya pada siang hari bulan Ramadhan. Pada ujung hadits, Rasulullah SAW bersabda, “Dan berpuasalah satu hari [sebagai gantinya] dan mintalah ampun kepada Allah [wa shum yauman wastighfirillaah].” (HR Abu Dawud,no 2393). Jumhur ulama mengatakan hadits ini merupakan dalil yang menunjukkan wajibnya qadha` bagi orang yang sengaja berbuka (membatalkan puasanya) tanpa udzur syar’i. (Imam Shan’ani, Subulus Salam, 2/164; Sa’id Al Qahthani, Al Shiyam fil Islam, hlm. 288; Ahmad Huthaibah, Al Jami’ li Ahkam Al Shiyam, hlm. 138).
Kedua, pendapat sebagian ulama, seperti Imam Ibnu Hazm dan Imam Ibnu Taimiyyah, yang mengatakan bahwa qadha` tidak disyariatkan bagi orang tersebut. Dalilnya, hadits dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Barangsiapa berbuka pada satu hari dari bulan Ramadhan tanpa suatu rukhsah yang diberikan Allah kepadanya maka dia tak akan dapat meng-qadha`nya dengan puasa satu tahun (lam yaqdhi ‘anhu shiyaam ad dahr).” (HR Abu Dawud, no 2396; Ibnu Majah no 1672; Ad Darimi 2/10; Ahmad, 2/376).
Dalil lainnya, pendapat sebagian shahabat seperti Abu Bakar Shiddiq, Umar bin Khaththab, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, dan Abu Hurairah yang tak mewajibkan qadha` bagi orang yang sengaja berbuka tanpa udzur syar’i. (Ibnu Hazm, Al Muhalla, 2/359; Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 3/108; Abdurrahman Al Harafi, Ahkamush Shiyam, hlm. 45).
Pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat jumhur ulama, yang mewajibkan qadha` bagi orang yang membatalkan puasa secara sengaja tanpa udzur syar’i. Ada dua alasan; pertama, bahwa hadits Abu Hurairah RA bahwa orang yang berbuka tanpa rukhsah tak akan dapat meng-qadha` puasanya walau puasa setahun, adalah hadits yang dhaif (lemah). (Nashiruddin Al Albani, Dha’if Sunan Abi Dawud, hlm. 517).
Alasan kelemahannya, karena ada seorang periwayat hadits bernama Abu Muthawwas yang majhul (tak diketahui dengan jelas identitasnya). Demikian sebagaimana dijelaskan oleh Imam Bukhari dalam At Tarikh Al Kabir, Imam Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Bari, dan Imam Ibnu Hazm dalam Al Muhalla. Imam Ibnu Hazm berkata,”Abu Muthawwas tidaklah terkenal sifat keadilannya (ghairu masyhur bi al ‘adalah).” (Ibnu Hazm, Al Muhalla, 2/358; Abdurrahman Al Harafi, Ahkamush Shiyam, hlm. 45).
Kedua, pendapat sebagian shahabat yang tak mewajibkan qadha’, kedudukannya hanya sebagai ijtihad yang boleh saja diikuti, namun bukan dalil syar’i. (Mahmud Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam Al Shiyam, hlm. 55). Ijtihad shahabat dalam ilmu ushul fiqih disebut dengan istilah mazhab al shahabi, yakni mazhab seorang shahabat. Para ulama berbeda pendapat apakah mazhab al shahabi dapat menjadi hujjah (dalil syar’i) atau tidak. Namun yang rajih menurut jumhur ulama adalah bukan dalil syar’i. Imam Taqiyuddin An Nabhani berkata,”Madzhab shahabat tidak termasuk dalil-dalil syar’i. [mazhab al shahabi laisa min al adillah al syar’iyyah].” (Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 3/417). Kesimpulannya, orang yang membatalkan puasa secara sengaja tanpa udzur syar’i,wajib mengqadha`. Wallahu a’lam. [] M Shiddiq Al Jawi

Siapa Yang Diwajibkan Mambayar Fidyah ? fidyah puasa ibu hamil- fidyah puasa ramadhan-fidyah puasa adalah

Siapa Yang Diwajibkan Mambayar Fidyah ?
Siapa saja yang tidak kuasa untuk berpuasa karena suatu kondisi tertentu, seperti orang yang sudah sangat tua/lanjut usia, yang menjadikan shaum baginya sangat berat, lalu orang yang sakit yang penyakitnya tidak mungkin disembuhkan, maka mereka juga tidak wajib untuk berpuasa; tetapi mereka wajib untuk membayarfidyah sebagai gantinya. Ketetapan ini didasarkan pada firman Allah SWT:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Tidaklah Allah menjadikan di dalam agama ini suatu hal yang berat/kesempitan bagi kalian. (QS al-Hajj [22]: 78).
Allah SWT juga berfirman:
 وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
Bagi orang-orang yang menanggung beban berat dalam berpuasa, mereka wajib memberikan fidyah, yakni memberi makan orang miskin(QS al-Baqarah [2]: 184).
Ada juga hadis penuturan Ibn Abbas bahwa Nabi saw. pernah bersabda:
«وَمَنْ اَدْرَكَهُ الْكِبَرُ فَلَمْ يَسْتَطِعْ صِيَامَ رَمَضاَنَ فَعَلَيْهِ لِكُلِّ يَوْمٍ مُدًّ مِنْ قَمْحٍ»
Siapa saja yang telah mencapai usia lanjut, lalu dia tidak kuasa untuk melaksanakan puasa Ramadhan, maka ia wajib untuk mengeluarkan satu mud gandum setiap hari. (HR al-Baihaqi dan ad-Daruquthni).
Ibn Umar ra. juga menuturkan hadis:
«اِذَا ضَعُفَ عَنِ الصَّوْمِ اَطْعِمْ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مُدًّا»
Jika seseorang lemah dalam melaksanakn shaum, hendaknya ia memberikan makan kepada orang miskin satu mud setiap hari. (HR al-Baihaqi dan ad-Daruquthni).
Dari Anas ra. juga dikatakan:
«أَنَّهُ ضَعُفَ عَنِ الصَّوْمِ عَامًا قَبْلَ وَفاَتِهِ فَافْطَرَ وَاَطْعَمَ»
Ia tidak berdaya untuk melaksanakan shaum sepanjang tahun sebelum wafatnya, lalu ia berbuka dan memberi makan makan orang miskin. (HR ath-Thabrani dan al-Haitasmi).

fidyah puasa ibu hamil, fidyah puasa ramadhan,fidyah puasa orang mati,fidyah puasa orang sakit,fidyah puasa ramadhan bagi ibu menyusui,fidyah puasa ramadhan bagi wanita hamil

hukum puasa untuk wanita haid dan nifas

Wanita Haid dan Nifas Tidak Wajib Puasa
Wanita haid dan nifas juga tidak wajib berpuasa, karena puasa bagi mereka adalah tidak sah. Jika mereka telah suci dari haid maka mereka wajib meng-qadha’ puasa yang ditinggalkannya. Ketentuan ini didasarkan pada hadis penuturan Aisyah ra. yang menyatakan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:
«فِي الْحَيْضِ كُنَّا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ»
Karena haid, kami telah diperintahkan untuk meng-qadha’ shaum, tetapi kami tidak diperintahkan untuk meng-qadha’ shalat. (HR Muslim, an-Nasa’i, Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).

Dalil kewajiban shaum/puasa ramadhan

Dalil kewajiban shaum/puasa ramadhan adalah 
فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Siapa saja di antara kalian yang melihat hilal bulan Ramadhan, maka berpuasalah. (QS al-Baqarah [2]: 185).
Dalil shaum juga didasarkan pada hadis penuturan Ibn Umar ra. yang menyatakan:
«اَنَّ النَّبِيَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: بُنِيَ اْلاِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهاَدَةِ اَنْ لاَ الَهَ اِلاَّ اللهُ، وَاَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَاِقاَمِ الصَّلاَةِ، وَاِيْتاَءِ الزَّكاَةِ، وَحَجِّ الْبَيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضاَنَ»
Sesungguhnya Nabi saw. pernah bersabda, “Islam itu dibangun di atas lima perkara: kesaksian bahwa tidak Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah; mendirikan shalat; menunaikan zakat; beribadah haji; dan shaum Ramadhan.” (HR al-Bukhari, Muslim dan Ahmad).
Shaum wajib Bagi yang Balig dan Berakal
Karena itu, secara pasti shaum merupakan kewajiban setiap Muslim yang telah balig dan berakal. Dalam hal ini, anak-anak dan orang gila tidak wajib untuk berpuasa. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi saw.:
«رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ الصَّبِي حَتَّى يَبْلُغَ وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَفِيْقَ»
Telah diangkat pena (taklif hukum) atas tiga orang: dari anak kecil hingga balig; dari orang yang tidur hingga dia bangun; dan dari orang gila hingga ia waras. (HR Abu Dawud).