Karunia Ramadhan bagi Wanita Haid dan Nifas
Shaum Ramadhan salah satu ibadah yang tata cara pelaksanaannya sudah ditentukan Allah SWT dan diajarkan Rasulullah SAW (bersifat tauqifiyah). Kaum muslim diperintahkan untuk melaksanakannya tanpa mengurangi dan menambahnya. Manusia tidak boleh mencari-cari hikmah dan manfaat ataupun alasan di balik pelaksanaan ibadah tersebut, kecuali apa yang telah disebutkan di dalam nash-nash Syara. Oleh karena itu, kaum muslim wajib mengikuti semua bentuk perincian ibadah Shaum dengan mengacu pada al-Qur’an maupun as-Sunnah. Dan bilamana hal itu dilaksanakan dengan benar dan hanya mengharapkan ridha Allah SWT maka Shaumnya akan meningkatkan derajat ketaqwaannya.
Shaum Wanita Haid dan Nifas
Islam membedakan persoalan ibadah shalat dengan ibadah shaum bagi wanita haid dan nifas. Dalam perkara shalat, Allah SWT telah mengangkat kewajiban tersebut dari keduanya. Oleh karena itu, mereka tidak diperintahkan mengqadha (mengganti) shalat selepas masa haid dan nifasnya. Namun, tidak demikian dengan Shaum. Allah SWT tidak mengangkat taklif Shaum dari keduanya. Allah SWT hanya mengundurkan waktu pelaksanaannya hingga selesai masa haid dan nifasnya. Oleh karena itu, wanita haid dan nifas wajib mengqadha Shaum saat masa haid dan nifasnya telah selesai. Mengapa terdapat perbedaan seperti itu?
Shaum maupun shalat merupakan bagian dari ibadah. Dalam hal ibadah, Allah SWT tidak memberikan ‘illat atas bentuk pelaksanaannya. Dalam persoalan ini pun, tidak ada satu pun nash yang menunjukkan atas ‘illat tentang perbedaan masalah tersebut. Oleh karena itu, selayaknya kita tidak perlu mencari-cari sebab mengapa aturan keduanya berbeda. Dari Muadzah ia berkata : “Bagaimana orang haid harus mengqadha Shaum sedangkan ia tidak harus mengqadha shalat? Aisyah bertanya: Apakah engkau seorang Khawarij Haruriyah? Aku berkata: Aku bukan seorang Haruriyah, tetapi aku sekedar bertanya. Aisyah berkata: Kami pernah mengalami hal itu, lalu kami diperintahkan untuk mengqadha Shaum dan tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat”. (HR. Muslim, Bukhari, Abu Daud, an Nasai dan Tirmidzi)
Wanita haid dan nifas diharamkan berShaum selama darah masih mengalir di masa haid atau nifasnya. Apabila haid atau nifas keluar meski sesaat sebelum maghrib, ia wajib membatalkan Shaumnya dan mengqadhanya pada waktu yang lain. Apabila darahnya terhenti pada malam hari (sebelum terbit fajar), maka Shaum pada hari itu wajib atasnya dan sah, walaupun ia mandi setelah terbit fajar. Sebab, yang menjadi penentu adalah mengalir atau tidaknya darah. Sementara mandi adalah perkara yang lain. Oleh karena itu, seorang wanita -jika telah terhenti darah haid atau nifasnya- maka wajib atasnya Shaum Ramadhan. Jika hal ini terjadi pada siang hari maka ia wajib berShaum saat itu juga meski harus mengqadha di waktu yang lain. Hal ini dikarenakan ia tidak memulai Shaumnya sejak terbit fajar. Hal ini sebagaimana orang yang terlambat mendapatkan khabar datangnya bulan Ramadhan pada siang hari, ia wajib berShaum pada sisa waktu (hari) yang ia dapati tetapi mengqadha pada hari yang lain.
Qadha Shaum
Mengqadha Shaum sah dilakukan secara berturut-turut atau berselang-seling tanpa ada pengutamaan salah satu dari keduanya. Mengqadha Shaum Ramadhan juga sah dilakukan secara langsung setelah hari raya Idul Fitri (mulai tanggal 2 Syawal). Demikian pula, qadha sah dilakukan meski diakhirkan hingga bulan Sya’ban, beberapa saat sebelum datangnya Ramadhan berikutnya. Dalil atas masalah ini adalah keumuman ayat :
“..Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berShaum) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain..” (TQS. Al Baqarah [2]: 184)
Ayat tersebut menetapkan qadha Shaum secara mutlak tanpa batasan (taqyid) dan pengkhususan (takhsis). Hal ini menunjukkan adanya keluasan waktu mengqadhaShaum hingga sebelum datang Ramadhan berikutnya. Dalam hal ini para fuqoha telah bersepakat. Dalil lainnya adalah dari Aisyah ra, ia berkata :
“Aku tidak mengqadha hutang Shaum Ramadhan-ku kecuali pada bulan Sya’ban hingga Rasulullah Saw dimakamkan”. (HR. Ibnu Khuzaemah, Tirmidzi, dan Ahmad)
Jika seseorang -tanpa udzur- melalaikan qadha Shaum hingga melewati Ramadhan berikutnya, maka ia dipandang sudah melalaikan kewajiban (al-mufarrith). Namun demikian para ulama berbeda pendapat tentang apakah ia harus membayar fidyah(sebagai kafarat) atas Shaum yang ditinggalkannya ataukah tidak.
Abu Hanifah dan para shahabatnya, Ibrahim An-Nakha’i, al Hasan al Bashri, al Muzani dan Dawud bin Ali berpendapat bahwa orang tersebut hanya wajib qadha saja. Sedangkan jumhur ulama berpendapat orang tersebut wajib mengqadha Shaum dan membayar fidyah (yaitu memberi makan orang miskin dari setiap hari Shaumnya).
Pendapat seperti ini diriwayatkan berasal dari Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan Abu Hurairah ra. Bukhari berkata: “….Ibrahim berkata: jika seseorang melalaikan qadha hingga tiba Ramadhan berikutnya, maka ia harus berShaum mengqadhanya tanpa perlu memberi makan. Tetapi ada riwayat dari Abu Hurairah secara mursal, dan dari Ibnu Abbas, bahwa orang tersebut harus memberi makan.”
Pendapat yang lebih kuat adalah yang disampaikan oleh ulama Hanafiyah. Hal ini dikarenakan kewajiban membayar fidyah bagi orang yang melalaikan kewajiban qadhamemerlukan nash Syara. Sementara tidak ada satu pun nash Syara yang datang dalam masalah ini. Sehingga pensyariatan hukum seperti itu tidak sah. Memang ada pernyataan yang dinukil at Thahawi dari Yahya bin Aktsam: Aku menemukan pendapat tentang fidyah ini dari enam orang shahabat dan aku tidak mengetahui orang yang menyalahi mereka dalam masalah ini. Ternyata semua riwayat yang berasal dari sahabat ini tidak terbukti kuat, karena diriwayatkan melalui jalur-jalur yang dhaif sehingga harus ditolak dan tidak boleh diikuti.
Sejumlah ahli fiqh juga telah keliru tentang pernyataan shahabat: “Sesungguhnya orang yang sakit jika tidak berShaum Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya, maka hendaknya ia berShaum Ramadhan dan memberi makan pengganti Ramadhan yang luput kepada seorang miskin dari setiap harinya”. Pernyataan tersebut tertukar dengan riwayat-riwayat dhaif di atas sehingga mereka mewajibkan fidyah secara mutlak. Padahal yang benar, bagi orang yang sakit sedangkan ia tidak mampu mengqadha sepanjang tahun maka ia diwajibkan membayar fidyah saja (sebagaimana yang dinyatakan di dalam Al Quran).